Bekasi, perisaihukum.com –
Penahanan secara fisik terhadap Gunata Prajaya Halim (52 thn) dan
Penetapan tahanan Kota terhadap ayahnya Wahab Halim (85 thn) oleh
Kejaksaan Negeri Kota Bekasi adalah tindakan yang tidak berdasar dan tidak
beralasan dan dinilai sebagai tindakan pengangkangan terhadap butir ke-2
Pancasila yang berbunyi Kemanusiaan Yang adil dan Beradab. Sebab fisik
tanah yang dituduhkan oleh terlapor (initial KP) sebagai ‘Tumpang-Tindih
(Overlapping)’ itu adalah Surat Otentik atau Sertifikat masing – masing
pemilik. Dan pembeli selaku pemilik yang telah memiliki surat sah (SHM), baik
Gunata Prajaya Halim maupun Wahab Halim, tidak membangun Batas-batas
permanen atas tanah milik mereka. Tidak mendirikan bangunan permanen
untuk dimanfaatkan sebagai tempat Usaha permanen, dan tidak menggali
tanah itu untuk digunakan sebagai urugan atau dijual.
” Perlu diketahui, fisik atas tanah bersebelahan itu tidak ada yang
dicuri ataupun dijual untuk beroleh keuntungan oleh Gunata Prajaya Halim
Maupun Wahab Halim, sehingga tidak ada dasar aparat kepolisian untuk
memerintahkan Juru Ukur BPN melakukan pengukuran Ulang.” Ucap Arief P Suwendi, mewakili peserta Aksi Senyap digelar depan PN Bekasi, Rabu (17/04/2024).
Bidang tanah yang dipersengkatan ini tidak dapat dikatakan tumpang
tindih (Overlapping). Karena diseluruh belahan bumi ini, tidak ada dan
belum pernah ditemukan, ada tanah yang tumpang tindih, selain akibat
Longsor dan terjadi pengurugan yang dilakukan orang terhadap tanah lainnya.
” Istilah Overlapping hanya ada di dalam administrasi ketata-usahaan atau
Akta atau Surat Identitas sebidang tanah yang di Indonesia dikenal dengan
nama Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), Sertifikat
Hak Guna Bangunan (SHGB), dan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (SHPL).
Untuk membuktikan terjadinya Overlapping atau tumpang tindih Surat
Kepemilikan suatu tanah, pihak-pihak bersengketa harus mengundang Juru
Ukur BPN/Kantor Pertanahan setempat dengan disaksikan oleh kedua belah pihak bersengketa, Pemilik Asal suatu tanah (penjual), dan saksi-saksi masing
masing pihak atau pihak yang dihadirkan dalam pengukuran ketika
penerbitan sebuah sertifikat dimohonkan.” Tutur Arief ditemui di PN Bekasi dengan didukung lebih dari 80 orang para alumni St.Yoseph an Vincentius, Jakarta.
Arief P Suwendi sebagai Koordinator Nasional Aliansi Wartawan
Non-Mainstream Indonesia (ALWANMI) menambahkan bahwa, Kehadiran pihak Kepolisian diperlukan berada di lokasi saat pengukuran
untuk pembuktian ada/tidaknya overlapping, dan untuk menghindari dan
mengantisipasi terjadinya bentrok fisik, karena Kepolisian tidak memiliki
wewenang membuat surat tanah.
“Jika terjadi perselisihan setelah pihak pertanahan menyatakan terjadi
overlapping atas surat tanah, dan tidak terjadi musyawarah untuk mufakat
dari kedua belah pihak bersengketa, persoalan dan kasus ini harus
diperkarakan di pengadilan Perdata untuk menguji dasar-dasar dokumen yang
dipersengketakan, dan pihak yang merasa kehilangan atas surat yang ‘tumpang-tindih’ dapat menggugat pejabat Tata Usaha Negara di pengadilan TUN, bukan di pengadilan Militer maupun pengadilan Agama. Karena produk (surat yang tumpang-tindih itu) merupakan produk pejabat Tata Usaha
Negara (TUN).” Imbuhnya kepada awak media.
Penahanan fisik dan penahanan Kota terhadap Gunata Prajaya Halim
dan Wahab halim tidak ada dasarnya. Tidak ada dasar kekhawatiran
menghilangkan barang bukti karena barang bukti sifatnya otentik dan harus
diusut di kantor Pertanahan (ATR/BPN).
Dalam kasus yang menjerat Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim,
pasal-pasal yang dijadikan acuan sama-sekali tidak pas dan tidak cocok.
Jika pasal 266 ayat (1) KUHP dan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menjadi
dasar Tuntutan, maka pihak JPU Kejaksaan Kota Bekasi dinilai telah
melakukan tindak Kesewenangan atas Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim alias tidak berperi-kemanusiaan dan tidak beradab, dan tidak
mencerminkan amanat Sila Ke-2 Pancasila sebagaimana disampaikan diatas.
” Hal lain yang menjadi pertanyaan kami, jika dokumen ayahnya SHM
(sertifikat Hak Milik) Nomor 2607 An. Wahab Halim disebut bermasalah
bagaimana bisa pihak Bank Mandiri menerima sebagai agunan kredit dengan
pengikatan agunan senilai Rp.300,000,000.- (tiga ratus juta rupiah) sejak tanggal 31 bulan Agustus tahun 2007 sampai sekarang yang diajukan oleh Wahab Halim, yang kemudian kredit agunan tersebut di bank berubah nama menjadi Gunata Prajaya Halim pada tahun 2016 dikarenakan Wahab Halim (ayah Gunata Prajaya Halim) sudah terlalu tua.
Sebagai tambahan:
Bahwa info SHM No.2607 An. Wahab Halim tersebut sudah pernah diagunkan
ke Bank BNI sebesar Rp. 68,000,000.- di tahun 1999 kemudian diagunkan
kembali ke Bank Buana Indonesia tahun 2004 baru kemudian pindah ke Bank
Mandiri sejak tahun 2007 sampai sekarang yang artinya SHM tersebut sudah
di-AGUN-kan terus menerus sejak 1999 sampai sekarang.
Yang artinya SHM tersebut dinyatakan tidak bermasalah.” Ungkap Arief usai aksi senyap.
Arief P Suwendi sebagai Koordinator Aliansi Wartawan
Non-Mainstream Indonesia (ALWANMI) menjelaskan, bahwa para jurnalis berkewajiban turut memberi pencerdasan dalam mewujudkan keadilan kepada seluruh masyarakat dunia
secara universal, seluruh masyarakat Indonesia secara keseluruhan melalui
kasus ini.
” Bahwa adanya dugaan kejanggalan terhadap proses, kronologis, histori
dan penerapan Hukum yang dialami oleh Gunata Prajaya Halim dan ayahnya Wahab Halim tidak menjadi preseden buruk dimasa mendatang sekaligus
pembuktian bahwa penegakan hukum adalah prioritas apalagi kini kasus ini
telah menjadi perhatian masyarakat nasional.” Jelasnya.
Perlu diketahui, penjelasan pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan
bahwa selama tidak dapat dibuktikan adanya data fisik dan data yuridis
yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar.
Lebih lanjut, pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan, dalam hal
atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Usai Aksi, Sekjen ALWANMI, Chrisman Simanjuntak menekankan,
Dari penjelasan diatas, kita semua berharap hal ini tidak terjadi dalam kasus
Gunata Prajaya Halim & Ayahnya, Wahab Halim karena jangan kemudian ada anggapan publik jika kasus ini seolah ‘dipaksakan’, bukankah kepemilikan
SHM atas ke-2 nama tersebut tercatat sejak tahun 1998, sedangkan gugatan awal terlapor dilakukan tahun 2007 dan gugatan akhir tahun 2020 Atau 9 tahun dan 22 tahun, bukankah ini sudah Kadaluarsa?.
“Aksi hari ini adalah akhir dari apa yang telah kami lakukan sejak tanggal 27 Maret tahun 2024, karena kami bukan dalam konsep intervensi hukum, Namun kiranya Presiden Joko Widodo, Kepala Staf Presiden RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, Menteri ATR/BPN RI, termasuk Kajati Jawa Barat, Kejari Kota Bekasi, Ketua PN Kota Bekasi dan semua pihak yang terkait agar Gunata Prajaya Halim dan ayahnya (Wahab Halim) DIBEBASKAN DARI SEGALA TUNTUTAN DAN DAKWAAN, ATAU BEBAS MURNI.” Pungkas Chrisman.
(Edo)