Sulsel, perisaihukum.com
Tak terasa, PMKRI Cabang Makassar akan memasuki usianya yang ke-69. Usia yang tidak muda lagi tentunya. Dalam rentang waktu yang panjang ini, tak dimungkiri, PMKRI Cabang Makassar sebagai organisasi pembinaan dan perjuangan yang dijiwai nilai-nilai kekatolikan tentunya telah banyak berkontribusi bagi Gereja dan Tanah Air. Tak ayal lagi, PMKRI cabang Makassar sepanjang 69 tahun ini telah membersamai perjuangan bangsa ini dalam menciptakan Masyarakat adil dan Makmur. Tentu sebagai organisasi besar yang telah melahirkan banyak kader berkualitas, di usia yang ke-69 ini, kita perlu sejenak berefleksi soal arah dan masa depan PMKRI Cabang Makassar. Mau dibawa ke mana pembinaan dan perjuangan di tubuh PMKRI? Apa saja tantangan nyata yang dihadapi PMKRI Cabang Makassar saat ini? Bagaimana relevansi pembinaan dan perjuangan PMKRI cabang Makassar di tengah pesatnya perubahan zaman? Kemana dan bagaimana PMKRI harus membenahi diri di era sekarang agar bisa tetap bertahan dan tak hilang dilibas zaman?
Sebagai anggota biasa PMKRI, kita tentu mengetahui visi dan misi PMKRI (minimal menghafalnya). Visi PMKRI sungguh mulia: Terwujudnya keadilan Sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati. Misinya pun tak kalah ambisius: Berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas melalui kaderisasi intelektual Populis yang dijiwai oleh nilai-nilai kekatolikkan demi terwujudnya keadilan sosial, Kemanusiaan, dan Persaudaraan sejati. Lantas bagaimana kita berusaha menerapkan visi dan misi ini dalam konteks PMKRI Cabang Makassar?
Evaluasi Pembinaan dan Perjuangan PMKRI
Pembinaan dan perjuangan di tubuh PMKRI tentunya terkait dan berpaut satu sama lain. Dua hal ini bak dua sisi mata uang. Dalam konteks pembinaan, sejujurnya ada beberapa pertanyaan yang ingin penulis ajukan untuk dapat direfleksikan oleh segenap anggota PMKRI yang terkasih. Sejauh mana pembinaan di PMKRI menjawab kebutuhan zaman atau minimal menjawab kebutuhan mahasiswa? Di tubuh PMKRI cabang makassar, ada banyak “tradisi” yang berusaha kita lestarikan. Namun, pertanyaannya ialah apakah tradisi-tradisi tersebut masih relevan untuk dipertahankan? Misalnya, dalam setiap agenda tegenprestatie di PMKRI Cabang Makassar, peserta biasanya diminta merangkak dan berguling di dalam kubangan lumpur, disuruh berlutut di atas jalanan berbatu, dan berbagai hal unik lainnya. Apakah praktik-praktik semacam ini menjawab kebutuhan mahasiswa zaman sekarang? Hemat penulis, tindakan-tindakan semacam ini amat sangat tidak berguna dan sama sekali tidak berkontribusi apapun dalam militansi kita sebagai kader PMKRI.
Penulis melihat ada semacam logical fallacy yang tertanam di tubuh perhimpunan ini. Apakah dengan keluar masuk kubangan lumpur dan merayap di atas jalan berkerikil membuat kita menjadi kader gereja yang tangguh dan aktivis mahasiswa yang militan? Sama sekali tidak! Come On, Guys! Di era yang serba canggih ini, ada rudal balistik antar benua/ICBM (jarak jelajahnya antara 5.500 km hingga 9.156 km) yang dengan mudahnya membuat kita jadi abu dalam sekejap mata. Jadi, kalau suatu waktu USA atau Rusia ingin menghancurkan Indonesia, mereka tak perlu jauh-jauh datang ke negara kita. Mereka cukup menekan tombol kendali nun jauh di negara mereka dan dalam hitungan detik rudal balistik antarbenua yang mereka miliki akan melesat dan memporak-porandakan negara ini. Jadi, tidak ada gunanya kita keluar masuk lumpur atau merayap di jalanan berkerikil. Apa yang penulis ingin katakan dari contoh di atas? Alih-alih memfokuskan pembinaan formal untuk melatih kader menjadi orang-orang yang keras secara fisik, PMKRI Cabang Makassar lebih baik berfokus membina kader menjadi orang-orang yang mempunyai isi kepala yang “keras”. Kita perlu berfokus pada pembinaan yang betujuan menghasilkan kader-kader yang mempunyai kemampuan analisis sosial kemasyarakatan yang memadai agar kita mampu menjadi kader-kader yang kritis dan piawai menganalisis berbagai fenomena yang terjadi di tubuh gereja dan bangsa. Jadi, sudahi doktrin tentara gereja yang toxic itu! Sekarang ini, kita butuh tentara gereja yang “keras” isi kepalanya, bukan yang “keras” fisiknya! Kalau mau cari tempat yang berfokus untuk melatih fisik, lebih baik masuk THS-THM, Pemuda Pancasila, atau sekalian masuk TNI saja!!!
Walaupun demikian, ada satu inisiatif bagus yang perlu diapresiasi. Hal ini ialah inisiatif untuk back to campus. Niat yang sungguh mulia untuk kembali membentuk komisariat-komisariat kampus. Penulis meyakini Komisariat kampus adalah akar PMKRI. Kalau akarnya kuat, organisasi ini pasti akan subur dan kuat. Karenanya, kita harus menaruh fokus lebih pada pembinaan dan perjuangan di tingkat komisariat. Selain itu, perlu diingat bahwa pembinaan di masing-masing komisariat kampus tak bisa disamaratakan. Hal ini disebabkan tipikal/karakteristik mahasiswa di tiap-tiap kampus yang tentunya berbeda. Kita perlu mengembangkan metode pembinaan dan perjuangan yang beragam yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing komisariat. Hemat penulis, metode pembinaan dan perjuangan boleh saja dibuat bervariasi, sejauh mampu menjawab visi dan misi organisasi. Dalam hal ini kita perlu banyak berkaca dari kawan-kawan cipayung lainnya semisal HMI dan GMKI yang telah membasis di kampus. Terbukti mereka bahkan memiliki komisariat per fakultas! Sudah saatnya kita menjemput bola kawan-kawan, bukan malah asyik mengeram di margasiswa!
Pola pembinaan ini tentunya berdampak pada paradigma perjuangan kita. Perlu diakui bersama, Gerakan dan perjuangan PMKRI cenderung reaktif, elitis, dan tercerabut dari gelombang perlawanan kaum tertindas. Demonstrasi yang dilakukan momentuman mirisnya dilihat sebagai tujuan Gerakan dan bukan sebagai salah satu metode perjuangan. Sehingga, output dari Gerakan itu kelihatan abu-abu, untuk tidak mengatakan nihil. Kita perlu turun ke tengah-tengah Masyarakat, melakukan pendampingan sosial yang tidak momentuman dan berdasarkan riset yang memadai. Ada satu contoh nyata yang terbantahkan terkait hipotesis di atas. Pernahkah PMKRI Cabang Makassar turut mendampingi Masyarakat bara-barayya yang hidup di bawah bayang-bayang penggusuran? Tidak pernah. Padahal, belasan KK di pemukiman itu bahkan merupakan umat katolik. Ironis bukan?
Lebih jauh lagi, di zaman digital ini, Gerakan kita perlu memanfaatkan platform digital secara lebih masif. Tak dapat disangkal, manusia modern saat ini adalah manusia yang memanfaatkan banyak waktunya berselancar di dunia maya. Kita perlu melihat kecenderungan itu sebagai peluang PMKRI dalam menjalankan berbagai agenda advokasi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Beradaptasi atau Mati!
Zaman berubah dengan begitu cepat. Ada istilah terbaru yang cukup tepat untuk menggambarkannya: VUCA. VUCA adalah akronim untuk Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Kita hidup di zaman yang berubah begitu cepat, serba tak pasti, begitu kompleks, dan amat sulit diprediksi. Karenanya, semua hal perlu menyesuaikan diri dengan keadaan zaman ini. PMKRI pun tak luput! PMKRI perlu selalu berbenah diri agar sesuai dengan kebutuhan zaman! Organisasi kemahasiswaan yang tak mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan mahasiswa hanya akan jadi fosil di kemudian hari. PMKRI harus memiliki nilai lebih dan nilai pembeda yang ditawarkan kepada mahasiswa. Kenyataannya, organisasi di kampus sudah sedemikian banyak dan beragam. Kalau PMKRI tak mampu bersaing, PMKRI akan ditinggalkan!
Charles Darwin, suatu waktu, pernah bilang bahwa bukan yang terkuat atau yang terpandai yang akan bertahan, tetapi mereka yang paling responsif terhadap perubahan yang akan bertahan. Hukum alam memang sudah demikian: Survival of The Fittest! Jadi kesimpulannya cuma satu kawan-kawan: kita harus berubah dan berbenah diri! Kalau kita begini-begini saja, kita akan hilang ditelan zaman. So, pilihannya cuma dua: beradaptasi atau mati! Stay Relevant, Be Adaptive!
Pro Ecclesia Et Patria!
Lusius Kasimirus Aga