
Probolinggo — Perisaihukum.com
Pernyataan Bupati Probolinggo, Gus Haris, dalam acara pelantikan pejabat eselon II di Pendopo Prasaja Ngesti Wibawa, Kraksaan, Senin (20/10/2025), menuai sorotan publik. Dalam kegiatan tersebut, Bupati menyampaikan pernyataan yang memicu kontroversi di kalangan aktivis dan jurnalis.
“Jangan ada pejabat yang menernak LSM dan media,” ujar Gus Haris dalam sambutannya.
Kalimat yang terkesan sederhana itu dianggap sebagian pihak sebagai bentuk sikap anti kritik dan pelecehan terhadap fungsi kontrol sosial masyarakat. Bagi para aktivis dan insan pers, pernyataan tersebut mencerminkan arogansi kekuasaan serta ketidaknyamanan terhadap kritik publik.
Ungkapan “menernak media” dinilai tidak pantas diucapkan oleh seorang kepala daerah. Selain mencederai makna kemerdekaan pers, ucapan itu juga menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah tidak terbuka terhadap pengawasan publik. Di ruang publik, pernyataan itu bahkan dianggap sebagai simbol arogansi birokrasi, di mana kritik dipandang sebagai gangguan, bukan sebagai bagian dari kemitraan dalam membangun daerah.
Padahal, di balik setiap berita dan liputan investigatif, terdapat kerja keras jurnalis dan aktivis yang menjalankan tugasnya untuk memastikan agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Namun, ucapan Gus Haris justru dinilai merendahkan peran tersebut, seolah fungsi kontrol sosial hanyalah penghambat kebijakan.
Lebih ironis lagi, pernyataan itu dilontarkan dalam forum resmi pelantikan pejabat eselon II — momen yang seharusnya menjadi ajang peneguhan integritas dan semangat reformasi birokrasi. Ucapan tersebut justru menimbulkan kesan ketidakpercayaan Bupati terhadap bawahannya serta menimbulkan kekhawatiran akan menurunnya iklim keterbukaan di lingkungan pemerintah daerah.
Akibatnya, mutasi jabatan yang semestinya menjadi upaya penyegaran birokrasi justru diwarnai suasana ketakutan terhadap kritik.
Kritik tajam datang dari Jamaluddin, Ketua Ikatan Wartawan Probolinggo (IWP). Ia menilai pernyataan Bupati menunjukkan lemahnya komitmen terhadap transparansi dan pelayanan publik.
“Seharusnya Bupati fokus pada perubahan menuju Probolinggo Sae, sesuai dengan slogan saat kampanye. Infrastruktur itu yang diurus — mulai dari Sumberanyar Paiton, Kotaanyar, Sambirampak Lor dan Kidul, hingga Gondosuli. Jangan hanya pencitraan di media sosial seperti TikTok. Kalau cuma pencitraan, akibatnya fungsi kontrol sosial masyarakat disepelekan. Rakyat jadi tidak percaya lagi pada pemerintah daerah. Dulu katanya mau membawa perubahan yang lebih SAE, sekarang pertanyaannya: SAE untuk siapa?” ujarnya.
Menurut Jamaluddin, Bupati seharusnya tidak hanya menyampaikan klarifikasi atau permintaan maaf melalui media, tetapi membuktikan komitmennya lewat kerja nyata. Ia mengingatkan bahwa sikap pemerintah yang alergi terhadap kritik hanya akan memperlebar jarak antara rakyat dan pemimpinnya.
Jika hal ini dibiarkan, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dikhawatirkan akan terus menurun.
Sebuah ironi di tanah yang dulu menaruh harapan besar pada perubahan. Kini masyarakat hanya bisa bertanya lirih: Apakah suara kami masih didengar, atau justru dianggap sebagai “ternak” yang harus diam?
Penulis: Rul / Tim