
Bogor, perisaihukum.com
Aktivis lingkungan dan antikorupsi, Zefferi, yang akrab disapa Apang, kembali menyuarakan keprihatinannya terhadap persoalan banjir yang berulang di kawasan Puncak dan wilayah Kabupaten Bogor. Ia menilai, fenomena tersebut tidak bisa lagi hanya dilihat sebagai akibat cuaca ekstrem semata, melainkan juga mencerminkan kegagalan dalam pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup.
“Kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air, justru dibebani pembangunan yang tidak sesuai peruntukan. Ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tapi juga kelalaian ekologis,” tegas Zefferi dalam keterangannya, Selasa (9/7/2025).
Menurutnya, pembangunan yang tidak terkendali di kawasan hulu sungai seperti Puncak telah memperburuk kondisi daerah aliran sungai (DAS), yang berdampak langsung pada banjir dan longsor di wilayah hilir seperti Bogor, Depok, hingga Jakarta.
Namun Zefferi menegaskan bahwa kritik yang ia sampaikan selalu disertai dengan tawaran solusi konkret.
Lima Solusi Strategis ala Apang
- Moratorium Izin Pembangunan di Zona Strategis Konservasi
Pemerintah daerah didesak melakukan peninjauan kembali terhadap seluruh perizinan di kawasan konservasi, termasuk bangunan komersial yang berdiri di atas lahan resapan. - Pembangunan Infrastruktur Pengendali Banjir Berbasis Ekologi
Pemerintah pusat dan daerah perlu segera membangun bendungan kecil (check dam) dan sistem penampung air di hulu DAS, disertai pendekatan rekayasa hijau (green engineering). - Rehabilitasi Hutan dan Penguatan Partisipasi Komunitas
Gerakan reforestasi harus didorong dengan melibatkan warga lokal, pesantren, dan komunitas pelajar. “Pelestarian tidak cukup dari atas, harus tumbuh dari bawah,” ujarnya. - Audit Tata Ruang dan Penindakan Terhadap Pelanggaran
Zefferi mendesak adanya keterlibatan lembaga pengawas seperti BPK, KPK, dan Inspektorat Daerah dalam menelusuri indikasi penyimpangan tata ruang dan potensi gratifikasi izin bangunan. - Edukasi Publik dan Penguatan Literasi Ekologi
Kampanye lingkungan seperti “Jaga Hulu Kita” yang digagasnya mendorong kesadaran bersama antara warga, pelaku wisata, dan pemerintah untuk menjaga keseimbangan ekosistem hulu-hilir.
“Lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif kita semua. Namun pemerintah tetap wajib hadir secara adil dan tegas dalam regulasi dan penegakan hukum,” tutup Zefferi.
Report, Zf