
Bogor _ perisaihukum.com_Sebuah bangunan megah berdiri angkuh di tengah kawasan konservasi Puncak, Jawa Barat. Bangunan milik Asep Stoeberi itu diduga melanggar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Aturan ini seharusnya melindungi kawasan resapan air dan ekosistem di Puncak dari alih fungsi lahan. Namun, seperti banyak kasus lain, hukum tampak ompong di hadapan kepentingan pemodal.
Bangunan berlantai tiga itu berdiri di atas lahan yang seharusnya steril dari pembangunan komersial. Lokasinya masuk dalam zona lindung, di mana pembangunan seharusnya tidak diperbolehkan. Namun, tanpa kendala berarti, proyek itu terus berlanjut.
Zefferi, aktivis dari LSM Matahari, geram melihat pelanggaran ini. Ia menilai pemerintah dan aparat penegak hukum abai terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka dalam menjaga lingkungan hidup. “Kalau melihat aturan, jelas bangunan ini tidak boleh ada di sana. Tapi, nyatanya, tetap berdiri tanpa sanksi. Artinya, ada sesuatu yang tidak beres,” ujarnya kepada Awak Media .
Zefferi menambahkan bahwa kasus ini bukan yang pertama terjadi di Puncak. “Setiap tahun, kawasan konservasi di sini makin terkikis. Air tanah makin menipis, longsor makin sering terjadi. Tapi siapa yang peduli? Pemerintah sibuk lempar tanggung jawab,” katanya.
Awak Media mencoba mengonfirmasi ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa Barat, tetapi mereka hanya memberikan jawaban normatif. “Kami sedang melakukan kajian dan akan mengambil langkah sesuai prosedur,” kata seorang pejabat yang enggan disebut namanya.
Sementara itu, Asep Stoeberi saat ditemui hanya menjawab singkat, “Semua izin sudah ada, silakan cek ke instansi terkait.” Namun, saat ditanya lebih lanjut soal dasar hukum pembangunan di zona konservasi, ia memilih bungkam.
Bangunan ini menambah deretan kasus perusakan lingkungan di Puncak yang seakan mendapat restu diam-diam dari pihak berwenang. Pertanyaannya, apakah hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, sementara pemodal bisa menginjak aturan sesuka hati?