
Jakarta, perisaihukum.com
Ironis di tengah gencarnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno menertibkan lahan untuk mencapai target 30% ruang terbuka hijau, justru lahan milik Pemprov DKI Jakarta di Jl. Agung Barat I, RW 10, Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok – Jakarta Utara, kembali ditempati secara ilegal.
Bantaran saluran air yang seharusnya menjadi ruang hijau dan area lindung itu kini beralih fungsi menjadi tempat usaha barang bekas, warung, serta aktivitas komersial lainnya.

Seorang pedagang yang ditemui di lokasi bahkan mengaku membayar untuk menempati lahan tersebut. “Saya tidak gratis usaha di sini, bayar,” ungkapnya.l
RW Sebut Lahan Sudah Pernah Ditertibkan Pemkot
Ketua RW 10, Sukirman, menegaskan bahwa lahan tersebut jelas merupakan aset Pemprov DKI Jakarta. Ia mengingatkan bahwa Pemkot Jakarta Utara pernah membongkar bangunan liar di lokasi itu beberapa tahun lalu.
“Setelah penertiban, dipasang pagar dan plang kepemilikan Pemprov DKI. Tapi sejak itu tidak pernah lagi dikontrol,” ujarnya.
Ia meminta Pemkot Jakarta Utara untuk kembali menjaga aset tersebut dari penyerobotan.
Lurah Sunter Agung: Kami Segera Rapatkan untuk Penertiban
Lurah Sunter Agung, Teguh Subroto, saat dikonfirmasi pada Kamis (27/11/2025), memastikan akan segera mengambil langkah tegas.
“Saya akan merapatkan di tingkat kecamatan untuk penertiban kembali,” tegasnya.
Tokoh Masyarakat dan Warga Minta Ketegasan Pemerintah
Tokoh masyarakat sekaligus mantan Ketua RW 10 (2013–2019) dan mantan Ketua LMK Sunter Agung (2021–2023), Ratmono, mendukung penuh penertiban.
“Bangunan liar di sepanjang kali ini dapat menghambat normalisasi, meningkatkan risiko banjir, dan mengganggu pemandangan. Penertiban harus tegas dan adil, tidak hanya menyasar masyarakat kecil,” ucapnya.
Warga lainnya, Hans, menilai keberadaan usaha ilegal tersebut tidak cocok berada di dalam kawasan permukiman.
Sementara warga berinisial DMT mengeluhkan kemacetan dan aroma tak sedap yang timbul dari aktivitas di area tersebut.
“Semua tokoh masyarakat sudah mengajukan keberatan, seluruh RT sudah tanda tangan. Bahkan SP3 sudah dikeluarkan 4 tahun lalu,” ungkapnya.
Analisis Hukum: Penggunaan Bantaran Saluran Air Adalah Pelanggaran Berat
Praktisi Hukum, Anirwan, SH dari Kantor Hukum Anirwan.SH & Partner, memberikan pandangan hukum terhadap persoalan tersebut.
Menurutnya, pemanfaatan bantaran saluran air untuk usaha atau bangunan adalah pelanggaran serius, karena bantaran sungai dan saluran air merupakan kawasan lindung yang tidak boleh ditempati oleh siapapun.
“Secara hukum, bantaran saluran air adalah sempadan sungai yang dilindungi. Bangunan atau aktivitas usaha di dalamnya jelas melanggar undang-undang dan peraturan daerah,” tegas Anirwan.
Ia menjelaskan bahwa pelanggaran ini bertentangan dengan berbagai regulasi, antara lain:
UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai
Permen PUPR No. 28 Tahun 2015 tentang Garis Sempadan Sungai dan Danau
Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum
Khusus Perda 8/2007, Pasal 13 menegaskan larangan membangun tempat usaha atau hunian di atas saluran atau bantaran sungai, kecuali dengan izin gubernur.
Sementara Pasal 27 melarang kegiatan usaha di jalur hijau dan taman, kecuali di lokasi yang telah ditetapkan pemerintah.
“Sanksi dapat berupa pembongkaran bangunan, denda, hingga pidana. Pemerintah wajib mengembalikan fungsi lahan tersebut sebagai ruang terbuka hijau dan area lindung,” tambahnya.
Kasus penyalahgunaan lahan bantaran saluran air di Jl. Agung Barat I kembali memicu perhatian publik. Warga berharap Pemkot Jakarta Utara bergerak cepat menindaklanjuti, mengingat lokasi tersebut aset negara yang strategis, sekaligus krusial untuk pencegahan banjir dan tata ruang kota.
(tim/red)
