
PROBOLINGGO — Perisaihukum.com
Kondisi jalan di Kabupaten Probolinggo kembali menuai sorotan tajam. Kerusakan yang terjadi bukan sekadar berlubang, tetapi telah berubah menjadi “medan perang” yang penuh jebakan berbahaya bagi pengendara. Mulai dari Sumberanyar, Kecamatan Paiton, hingga Desa Gondosuli, Kecamatan Pakuniran, termasuk wilayah Sambirampak Lor dan Sambirampak Kidul, jalan-jalan utama berubah menjadi kubangan yang menyulitkan aktivitas warga.
Kerusakan ini bukan masalah baru. Setiap kali hujan turun, lubang-lubang besar tertutup genangan air sehingga membahayakan pengendara. Hampir setiap hari terdengar suara motor tergelincir, disertai keluhan warga yang kehilangan keseimbangan maupun kesabaran.
“Setiap lewat sini rasanya seperti berjudi dengan maut. Kalau bukan saya yang jatuh, pasti orang lain,” keluh Cahyo, warga Sambirampak Kidul. Ia harus melewati jalur rusak tersebut setiap hari demi mencari nafkah, namun menilai pemerintah hanya pandai berjanji tanpa tindakan nyata.
Senada dengan itu, Firmansyah, warga Sumberanyar, mengaku sudah tak bisa lagi menghitung berapa banyak pengendara yang terjatuh di depan rumahnya.
“Lubangnya bisa lebih dari 20 cm. Tapi anehnya, tak ada satu pun pejabat yang turun melihat langsung. Katanya Probolinggo menuju Probolinggo SAE, tapi kenyataannya semakin tidak SAE,” ujarnya.
DPRD dan Pemkab Disorot: “Jadi Penonton Penderitaan Rakyat”
Kritik juga mengarah pada DPRD Kabupaten Probolinggo yang dinilai kehilangan keberanian dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Gedung dewan dan kantor bupati berdiri megah, namun akses jalan menuju masyarakat justru rusak parah.
“Di mana nurani mereka yang katanya terpanggil untuk mengabdi? Sepertinya sudah terkubur bersama aspal yang mengelupas dan janji yang membusuk,” ungkap salah satu warga.
Aktivis Turun Suara: “Dulu Lantang, Sekarang Bungkam”
Menurut Jamaluddin, Ketua IWP, kondisi ini semakin ironis karena sebagian aktivis yang dulu vokal kini memilih diam. Padahal sebelumnya mereka kerap menggelar aksi hingga membuat lomba video jalan berlubang untuk mengecam kebijakan yang dinilai buruk.
“Dulu orasinya lantang sampai memekakkan telinga. Sekarang malah bungkam seolah terhipnotis kekuasaan,” sindir Jamaluddin, salah satu aktivis yang masih berani bersuara, pada 15 November 2025.
Ia mempertanyakan apakah Probolinggo sedang “dikutuk” atau memang sengaja dibiarkan tenggelam dalam derita—dari kelalaian hingga dugaan keserakahan. Julukan Jalan Kabupaten Seribu Lubang bagi Probolinggo kini bukan lagi satir, tetapi kenyataan pahit yang terpampang jelas di depan para pejabat yang melintasinya setiap hari tanpa rasa bersalah.
Jika pemerintah daerah dan DPRD terus abai, maka sejarah akan mencatat bukan hanya kerusakan jalan yang dibiarkan, tetapi juga rapuhnya integritas para pemimpinnya.
(Tim)
