
PUNCAK, perisaihukum.com
Keberadaan Restoran Asep Stroberi (Astro) yang berdiri di kawasan eks Rindu Alam, Puncak, Bogor, kembali menjadi sorotan. Forum Aktivis Lingkungan Matahari menilai pembangunan restoran tersebut bertentangan dengan fungsi ruang karena berada di kawasan yang ditetapkan sebagai zona hijau strategis dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor dan kawasan strategis nasional.
Dalam keterangannya, juru bicara LSM Matahari, Zefferi, mempertanyakan dasar hukum penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk restoran tersebut.
“Faktanya, lahan itu termasuk dalam zona hijau. Apapun dalihnya, termasuk status lahan milik Pemprov Jawa Barat, tidak serta-merta membolehkan pemanfaatan ruang untuk kepentingan bisnis komersial. Itu tetap bertentangan dengan aturan tata ruang dan semangat konservasi kawasan Puncak,” tegas Zefferi, Jumat (4/7).
Ia menambahkan, bahwa fungsi zona hijau seharusnya dibatasi untuk ruang terbuka, konservasi, dan pertanian — bukan kegiatan ekonomi berbasis profit seperti restoran. Apalagi kawasan Puncak dikenal sebagai wilayah dengan tekanan ekologis tinggi akibat alih fungsi lahan dan bangunan liar.
Lahan Milik Pemprov Jabar, Bukan Alasan Komersialisasi.
Diketahui, lahan tempat berdirinya restoran Astro merupakan aset milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang dikelola melalui BUMD PT Jaswita Jabar. Dari informasi yang dihimpun, pihak manajemen restoran sebelumnya tidak memiliki izin dan sempat disegel oleh Satpol PP. Namun belakangan, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) menerbitkan PBG atas dasar legalitas lahan dan kerja sama pemanfaatan aset daerah.
Namun bagi LSM Matahari, dalih status lahan milik negara tetap tidak bisa mengabaikan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
“Lahan negara atau pemda tetap tunduk pada regulasi tata ruang. Status kepemilikan tidak berarti bebas dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, apalagi jika zona tersebut ditetapkan sebagai kawasan lindung atau hijau,” lanjut Zefferi.
Minta KSDAE Turun Tangan.
LSM Matahari mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap status perizinan dan fungsi ruang di kawasan tersebut. Mereka juga meminta ATR/BPN mengkaji ulang penerbitan PBG yang dianggap menabrak prinsip kehati-hatian dalam penataan ruang.
“Kami Mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Kehutanan ,Dirjen KSDAE untuk meminta klarifikasi dan tindakan hukum, jika ditemukan pelanggaran. Kawasan Puncak tidak boleh jadi bancakan komersialisasi dengan dalih legalitas administratif semata,” tutup Zefferi.
Potensi Presiden Buruk.
LSM Matahari khawatir jika kasus ini dibiarkan, maka akan menjadi presiden buruk bagi kawasan konservasi lain yang juga rawan dikomodifikasi atas nama pengembangan wisata. Mereka mendesak transparansi penuh dari Pemkab Bogor dan Pemprov Jabar terkait status lahan, proses izin, serta dasar zonasi PBG yang diterbitkan.
Report, Zeffry