
Puncak, Bogor, perisaihukum.com
Kawasan legendaris Rindu Alam di Puncak, Bogor, kembali ramai diperbincangkan setelah tokoh pengusaha dan pegiat wisata lokal, Asep Stober, secara resmi membuka kembali kawasan tersebut dengan konsep baru yang diklaim ramah lingkungan, Jumat (16/5).
Asep Stober meresmikan area tersebut sebagai “Rindu Alam Nature Park”, yang menggabungkan elemen edukasi, wisata kuliner lokal, dan ruang terbuka hijau. Ia mengklaim pembukaan kembali dilakukan dengan mengikuti aturan zonasi dan rekomendasi dari dinas lingkungan hidup.
(Kutip Media Nasional)
Namun, langkah tersebut tetap memicu tanggapan kritis dari sejumlah aktivis lingkungan. Salah satunya adalah Aktivis lingkungan Matahari, yang sejak awal mendukung penutupan Restoran Rindu Alam pada tahun 2020.
“Rindu Alam berada di kawasan konservasi. Tidak peduli siapa yang membuka, atau seperti apa konsepnya, prinsip dasarnya tetap: tidak boleh ada aktivitas komersial yang dapat mengganggu fungsi ekologis,” tegas Zefferi
Ia merujuk pada Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2020 dan Peraturan Daerah Jawa Barat tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, yang menyatakan bahwa kawasan Puncak adalah zona lindung.
“Kami mendesak pemerintah untuk transparan: apakah pembukaan kembali ini sudah melalui kajian lingkungan strategis? Apakah sudah ada izin sesuai AMDAL dan KLHS? Jika belum, ini berpotensi melanggar hukum,” tambahnya.
Aktivis Matahari Zefferi juga mengingatkan bahwa pembangunan, sekecil apa pun, di kawasan konservasi bisa berdampak besar terhadap kestabilan iklim mikro, air tanah, dan potensi longsor.
“Kalau benar ingin mencintai alam, maka biarkan ia pulih tanpa eksploitasi. Wisata ramah lingkungan bukan sekadar branding—itu harus dilandasi prinsip ilmiah dan hukum,” tegasnya menutup pernyataan.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor belum memberikan komentar resmi terkait legalitas dan perizinan pembukaan kembali Rindu Alam oleh Asep Stober.
Report, HR