
Bogor_ perisaihukum.com_Program Perhutanan Sosial melalui skema Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) di Kabupaten Bogor, yang seharusnya memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan, kini menjadi sorotan tajam. Alih fungsi lahan yang diduga terjadi dalam implementasi program ini mengancam ekosistem dan memperbesar risiko bencana alam.
Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor mengklaim telah mendampingi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam pengajuan Kulin KK, dengan luas areal sekitar 800 hektare sejak 2021. Salah satu contohnya adalah LMDH Puncak Lestari, yang mendapatkan pengakuan untuk mengelola 610,64 hektare lahan untuk objek wisata dan budidaya kopi Arabika.
Namun, aktivis lingkungan dari organisasi Matahari, Zefferi, mengungkapkan keprihatinannya atas dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan program ini. Menurutnya, alih fungsi lahan yang tidak terkendali telah menyebabkan lebih dari 1.000 hektare lahan perkebunan teh di Puncak Bogor berubah fungsi, sehingga meningkatkan ancaman bencana seperti banjir dan longsor.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bahkan telah meminta penghentian segala bentuk alih fungsi lahan di kawasan Puncak. Ia menegaskan bahwa konservasi lingkungan harus menjadi prioritas utama, bukan kepentingan ekonomi semata. Gubernur berencana memanggil jajaran PTPN dan Perhutani untuk meminta pertanggungjawaban serta merumuskan langkah konkret dalam menyelamatkan lingkungan di Jawa Barat.
Situasi ini menuntut pengawasan ketat serta tindakan tegas dari pemerintah dan lembaga terkait. Program Kulin KK tidak boleh menjadi dalih bagi eksploitasi hutan yang justru merusak lingkungan. Diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan untuk memastikan bahwa program ini benar-benar berjalan sesuai prinsip keberlanjutan, bukan justru menjadi pintu bagi perusakan ekosistem hutan.